KISAH PILU PEMUDA YANG DIDUGA PENGIDAP PENYAKIT MENULAR

Suhardi bersama dr Muji Iswanty
 di RSUD Syekh Yusuf, 7 Maret.
Hari pertama, saat hendak dirawat. 
KISAH PILU SUHARDI YANG DIDUGA PENGIDAP PENYAKIT MENULAR

Enam Tahun Lamanya Menahan Gatal




SUNGGUH berat penderitaan yang sudah dijalani, Suhardi. Hampir enam tahun lamanya, ia terpenjara di dalam gubuk.

Bukan disekap atau dipasung. Tetapi, ia diserang penyakit kulit. Sakit? Tidak. Ia sehat-sehat saja.

Ia bisa makan juga minum seperti kondisi orang sehat pada umumnya. Hanya saja, penyakit kulit itu membuatnya tampak sakit. Padahal tidak.

Tetapi, andaikata ia tidak segera ditangani. Bisa saja, ia mati gara-gara penyakit kulit tersebut. Beruntung, ia bisa menghubungi Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan. Sehingga ia bisa dirawat.

Namun, sebelum menceritakan bagaimana ia bisa menghubungi Adnan dan akhirnya dibawa ke RSUD Syekh Yusuf, untuk ditangani langsung dokter kiranya kisah Suhardi bertahan hidup tak bisa dikesampingkan.

Sungguh ini diluar akal sehat. Bertahan hidup di dalam gubuknya selama enam tahun. Gubuk yang hanya berdindingkan papan yang rapuh dan sebagian seng peninggalan neneknya, almarhumah Dg Nari (90) yang meninggal pada 2013 silam.


Suhardi (tengah) diangkat Risal untuk dibawa ke RSUD Syekh Yusuf, Gowa, 7 Maret. 



Sebab, ia nyaris tewas. Nyaris pula bunuh diri. Beruntung pemuda 21 tahun itu masih punya sedikit iman. Ia pesan neneknya juga kakaknya. Bunuh diri itu dosa.

Suhardi (tengah) bersama kakaknya, Risal dan dr Muji. Suhardi mulai tampak segar usai ditangani dokter spesialis kulit dan kelamin ini. 



Kenapa ia ingin bunuh diri? Kata Suhardi, ia tak kuasa menahan pedih. Menjadi beban kakak kandungnya, Risal. Ia malu harus dirawat hampir enam tahun lamanya.

Hanya karena, ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tak bisa kemana-mana. Tangan dan kaki nyaris lumpuh. Tak bisa digerakkan sama sekali.

Berpindah tempat beberapa meter saja harus ngesot. Apalagi, bila diminta bekerja mencari uang. Pasti sudah tak bisa. "Pedih rasanya," kenang Suhardi.

Namun mau diapa. Dalam kurung enam tahun itu hampir tak ada orang yang bisa merawatnya selain Risal, kakak kandungnya.

Tetangganya? Sudah jelas juga tak bisa. Mereka saja susah. Apalagi, jika diminta tolongi.

Semakin getir. Kala keputusasaan hidup Suhardi semakin menggila. Masih gara-gara penyakit kulit itu karena, kian hari kian gatal. Gatalnya, nyaris tak tertahan.

"Ya. Pasrah saja. Pasrah, dan pasrah. Karena kalau digaruk malah semakin gatal. Gatalnya, disekujur tubuh. Air mata biasa keluar tak tertahan," kenangnya, pilu.

Penyiksaan semakin berlipat. Kala dalam gubuk yang ia sebut rumah itu, kedua orang tuanya sudah tak ada lagi. Ia hanya berdua dengan kakak kandungnya, Risal.

"Di rumah yang tinggal hanya saya dan kakak (Risal) Ibu telah tiada. Ayah, tak tahu dimana. Ayah sudah lama meninggalkan kami. Bahkan sudah nikah lagi," kenangnya lagi, saat dijumpai di rumahnya, kemarin.

Yah. Lagi-lagi beruntung, kata Suhardi, masih ada rumah panggung peninggalan nenek yang bisa mereka tempati berteduh.

Meski itu sudah reyok. Dindingnya sudah lobang sana sini. Tetapi setidaknya, ia dan kakaknya tidak menjadi penduduk nomaden.

"Sebenarnya, ibu sudah tiada sejak saya masih kelas dua SD dan setelah itu. Kakak (Risal) kelas 5 SD. Ayah? Pergi. Setelah kawin lagi. Kami, hanya dirawat nenek," ucapnya, dengan suara sedikit tertahan.

Berusaha tersenyum, Suhardi, kembali menceritakan riwayat penyakit kulitnya itu. Katanya, penyakit ini awalnya muncul di bagian telinga. Saat itu usianya baru lima tahun.

Memang sudah gatal saat pertama kali timbul disekitar telinga kanannya itu. Tetapi, ia tak tahu penyakit apa itu. Ia kala itu acuh saja.

Berganti tahun, penyakit kulit itu mulai menyebar ke matanya. Tetapi hanya dipinggir saja. Tak sampai menutupi bola matanya. Tetapi sudah gatal.

Pastinya umur berapa, ia mengaku, tak ingat. Namun yang pasti katanya ia masih SD. "Dari mata berlahan turun di leher. Sudah tamat SD saat itu. Sudah gatal. Sangat gatal. Tetapi saya masih bisa bekerja," bebernya.

Tamat SD, sembari bekerja semrawutan. Tak melanjutkan sekolahnya karena tak ada biaya. Penyakit kulit itu, kian menjalar. Perlahan, menyerang kedua tangannya.

Namun, lagi-lagi ia tak tahu harus bagaimana. Ia berusaha saja mencoba bertahan dari gatal itu. Ia juga takut ke dokter atau puskesmas.

"Kartu keluarga saja kami tak ada. Apalagi BPJS." KIS? "Kartu Indonesia Sehat, kami juga tak kebagian."

Bantuan sembako?"Sama. Sekali pun kami tak pernah merasakan itu. Yah, jadinya kalau tak beli beras. Mau makan apa?" ucapnya, sedih tak tertahan. Untung ada Adnan, bupati muda melenial itu. Eh, juga dokter cantik yang merawat Suhardi saat berada di RSUD Syekh Yusuf, DR. Dr. Muji Iswanty, SH,MH,SpKK, M.Kes."Bu dokter baik. Lama saya dirawatnya. Andai tidak ada dia. Mungkin saya sudah tak bisa berjalan lagi. Berdiri lagi," sanjungnya, sembari komat kamit seakan mengucap doa.


Suka menulis dan membaca buku

Join the conversation